Senin, 19 Oktober 2009

Pasar baru dalam ingatanku

Saya lihat serombongan perempuan berlarian dari dalam bangkai kapal yang teronggok di pantai tidak jauh dari asrama polisi tempat tinggal keluarga kami. Para perempuan itu terlihat dan terdengar berceloteh riang berlarian kearah air, disiang yang panas terik.Saya tertawa-tawa melihat kegembiraan mereka. suara tawa mereka kadang terdengar jelas kadang sayup-sayup terbawa hembusan angin yang berubah arah.Hari itu air laut sedang surut, sehingga bibir laut terlihat jauh sekali dari tampat saya duduk.Kebiasaan saya ketika sudah pulang dari sekolah saya yang cuckup jauh dari rumah kami itu, selesai makan siang ketika keluarga saya beristirahat siang, saya pergi kepantai untuk sekedar bermain pasir atau memetik bunga-bunga berwarna ungu dari tanaman merambat yang menutupi sebagian pasir putih di pantai paling luar yang merupakan halaman tetangga kami di blok D asrama paling belakang.

Tetangga kami di blok D bisa berkebun di halaman rumah mereka, kebanyakan mereka menanam pepaya dan terong. Kebun mereka itu masih lagi dibatasai oleh tumbuhan belukar yang bunganya berwarna ungu dan daunnya bentuk hati, baru kemudian areal pantai. Kami tinggal di blok B sedangkan blok A posisinya menghadap jalan raya, jalan protokol yang menghubungkan lapangan terbang dan pelabuhan laut, serta dalam kota yang terletak di bagian bukan pesisir.

Dibelakang asrama kami itu pantai menghampar berkali-kali lipat luas lapangan sepak bola, ketika air sedang surut besar, kalau air tidak terlalu jauh surutnya, maka akan banyak kolam-kolam kecil di pantai yang dihuni oleh ikan-ikan kecil.Bapak sering mengajak kami mencuci lampit dilaut,lampit adalah tikar dari belahan rotan hasil kerajinan orang-orang kalimantan selatan.Saat itu sajalah saya akan berani menceburkan diri dilaut, sambil menyikat lampit.Kalau tidak ada bapak, saya sama sekali tak berani sampai di air laut, apalagi dalam keadaan surut. Orang-orang dewasa sering menceritakan hal-hal seram yang membuat anak-anak seperti kami tidak berani sampai di laut.

Ketika itu kalau saya bercerita kepada ibu saya tentang perempuan-perempuan dari dalam bangakai kapal, ibu saya selalu menasehati saya supaya jangan melamun dipantai. Ibu saya menganggap saya hanya berhayal, padahal saya melihat dan mendengarnya seperti saya juga melihat kapal yang berlayar, dan orang membawa lanjung di bibir laut, menggali dan memungut kepah." tidak ada perempuan yang mau mandi dipantai tengah ari bolong seperti itu, perempuan takut matahari akan membuat kulit mereka hitam" begitu kata ibu saya.

Onggokan bangkai kapal yang saya ceritakan diatas, lokasinya disebelah kiri pantai kami, sedangkan di sebelah kanan pantai kami adalah belakang pasar yaitu muara sungai Kelandasan kecil, Ketika itu di belakang pasar memang aromanya agak menyengat, karena banyak penduduk yang memanfaatkan pantai sebagai toilet umum.bisa dibayangkan kalau kepiting di daerah itu lebih sehat-sehat dari pada kepiting-keping kurus di pantai kami.

Didepan asrama kami itu lain lagi pemandangannya.Kala itu jalan raya di depan asrama kami hanya satu jalur, dan jarang-jarang kendaraan yang melintas.Jalanan hanya ramai pada waktu-waktu tertentu.misalnya pagi sekali ketika angkutan menuju ke Handil yang membawa orang-orang yang akan ke Samarinda dan sekitarnya.Waktu itu belum ada jalan darat yang menghubungkan Balkpapan dan Samarinda. Jadi mereka yang akan ke Samarinda, harus melewati Handil dan menyambung perjalanan dengan perahu motor menuju Samarinda. Kalau keluarga kami mau ke Samarinda,karena kebetulan nenek kami tinggal di Samarinda, Kami akan di titipkan bapak di kapal patroli( menyalahi prosedur?) dan setelah perjalanan semalaman, paman-paman kami akan menjemput kami di pelabuhan Samarinda. Kadang-kadang saya sekarang berpikir, betapa Bapak begitu mempercayakan kami kepada ABK yang terdiri dari polisi-polisi muda itu, yang ternyata memang terdiri dari orang-orang berbudi luhur, bayangkan kalau ada orang jahat diantara mereka, sementara kami 3 gadis kecil 6 sampai 9 tahun.

Kembali ke Halaman asrama kami. Sepanjang pinggir jalan didepan asrama kami berdiri tegak pohon cemara yang tinggi menjulang dan di bawahnya hamparan rumput hijau juga ditaburi oleh buah cemara kering yang terasa memijat kaki ketika di pijak.Saya juga biasa bergulingan dihamparan rumput untuk merasakan buah cemara kering memijat punggung saya, sambil menonton taksi yang sesekali lewat di jalan raya.Oh ya yang namanya taksi itu adalah sebuah jeep peninggalan perang dunia 2 yang bodynya di ganti dengan kayu dan pintu masuk keluar separuh badan terletak dibelakang mobil.Kelak setelah armada angkutan kota diganti dengan yang sedikit "representatip", masyarakat membedakannya dengan menyebut si Jeep sebagai taksi jamban dan yang pendatang baru adalah taksi kijang. Dan semuanya indah saja dimata dan hati saya....

Sekarang tidak ada lagi pantai landai yang luas di belakang asarama itu. Kata teman anak saya yang tinggal di Blok D saat ini. Air laut ketika pasang dan angin kencang bisa mencapai pintu rumah. Saya sangat kecewa mendengarnya tapi tak ada yang dapat menahan waktu berlalu, semua berubah, ada yang menjadi lebih baik tapi tak jarang yang mengecewakan. Maklumlah kejadian yang saya ceritakan diatas sudah berlalu 45 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar