Rabu, 21 Oktober 2009

Nenek Inggris,Pak Amat dan Pabrik bata

Mesin jahit saya putus tali dinamo nya, karena mesin jahit itu bukan merek yang sudah umum dan agennya sudah lama beralih usaha jadi tukang jual kertas dan alat tulis, jadi dia tidak mau bertanggung jawab akan kesulitan saya.

Saya sudah mencari tali dinamo yang kata orang di toko spare part mobil namanya fanbelt, keseluruh toko yang berkepentingan dengan perjahitan tapi tidak ada satupun yang cocok.Saya juga sudah menyuruh anak saya untuk nyari di google atas nama mesin jahit Riccar, tapi tidak jua ditemukan.Berarti tidak semua data bisa didapat di Google itu.
Atas saran tukang jual mesin jahit reguler( maksud saya yang mereknya tidak neko-neko) di kawasan Kebun sayur menuju jalan Kilat, saya di ajurkan mencari pakar mesin jahit bernama Pak Amat.Dia memberi tahu saya ancer-ancer alamatnya dan merasa sangat mengenal daerah itu, saya langsung mengajak suami saya yang setia mengantarkan saya mencari solusi mengenai urusan mesin jahit itu, untuk mencari Pak Amat saja. Saya sudah optimis bakal bisa menjahit lagi. Maklum sebagai orang yang menyandang gen tukang jahit, saya selalu senang berada didekat mesin jahit, walaupun belum pernah saya menghasilkan serupiahpun dari mesin jahit saya.

Gen jahit menjahit saya dapatkan dari ibu saya yang sudah menjahit secara profesional sejak umur 9 tahun, di kampungnya nun jauh di Wakatobi.Maklum beliau piatu sejak usia itu dan ayah beliau hanya seorang petani.beruntung almarhum nenek saya itu seorang tukang jahit dan sekaligus seorang pembuat jarum jahit...saya sebenarnya juga keturunan tukang logam, karena nenek saya dari ayah saya adalah pembuat perhiasan dari uang logam, dan cukup ternama konon pada jamannya di kampungnya tentu saja.Kadang-kadang saya merasa sangat hebat karena terlahir sebagai keturunan tukang logam wanita!

Esoknya dengan sepeda motor saya dan suami menggotong mesin jahit mencari Pak Amat.Mula-mula kami sampai di Balai Gembira, di belakang balai gembira ada mantan pabrik es kemudian ketemu simpang tiga, kekanan bioskop Ria kekiri jembatan. Tapi ketika sampai di jembatan saya bingung harus kemana, padahal dulu saya selalu melewati jembatan itu dari pagi sampai malam. Pagi hari sebelum sekolah saya wajib lewat jembatan untuk beli sarapan roti goreng yang disana namanya Untuk-untuk, diwarung bulik Irum ( kelak setelah ia menjadi ibu tiri dari kawan saya yang asal Manado, bulik Irum berubah menjadi Tante Roum),Siang hari di panas terik sepulang sekolah, bapak saya menyuruh saya minta sepotong es batu di pabrik es yang pemiliknya kebetulan kawan baik bapak saya.Malam hari kalau kami kehabisan lauk untuk makan malam saya akan lewat jembatan itu lagi untuk beli sekaleng sarden di toko ibu Nyoto, diseberang rumah mamaknya Kahar.

" Jadi kita kemana lagi nih, jangan melamun aja" suami saya mengagetkan saya. Saya bingung, bayangan saya setelah jembatan itu, dikanan kantor pabrik bata dan kesanaan sedikit deretan asrama polisi tempat kami tinggal.Di sebelah kiri rumah mantan direktur pabrik bata suami tante Roum.sedangkan didepan jembatan adalah seluas-luasnya areal pabrik bata.Dikiri areal itu berdiri dengan kokoh rumah pembakaran bata.Dibelakang rumah pembakaran bata itu dalam sebuah rumah sangat sederhana tinggalah seorang wanita tua berdarah Portugis dengan seorang anak lelaki dan cucunya yang juga seorang anak laki-laki.Wanita tua yang oleh orang-orang sekitarnya itu dikenal sebagai Nenek Inggris, adalah langganan pijat ibu saya.Nenek Inggris sangat terkenal, kalau saya bilang saya tinggal didekat pabrik bata, orang lantas bertanya " dimananya Nenek Inggris?"

Saya mencoba bertanya pada seorang ibu yang sedang menyuapi anak dalam gendongannya, apakah ia mengenal Nenek Inggris atau keturunannya? dengan menahan tawa dia mengatakan dia tidak pernah mendengar ada orang yang dikenal sebagai anak atau cucu dari Nenek Inggris.Dia bertambah geli ketika saya katakan Nenek inggris masih tinggal di belakang rumah pembakaran bata pada tahun 69 " bu, saya belum lahir waktu itu" katanya.

Akhirnya sebuah pintu terbuka dan didalamnya berserakkan mesin jahit listrik yang kebanyakan sudah butut.Pak Amat rupanya mantan tetangga kami, dia menceritakan pada saya bahwa sudah tidak ada lagi orang dari masalalu disitu
"Pak Mayor Anu meninggal setelah kena santet di Tenggarong dan ibu Mayor Polan sebelum pindah ke Jakarta adalah salah satu staff Kapolda sedangkan Pak Mayor Es terkena stroke masih ada di bekas rumah kami, padahal dia sudah lama pensiun".Jangan heran kalau Pak Amat meyebutkan pangkat-pangkat militer, karena polisi dulu pernah memakai
kepangkatan militer,kalau tidak salah waktu Jendral Yusuf memangku Panglima Angkatan Bersenjata.

Saya senang sekali bisa mengunjungi tempat masa kecil saya walaupun saya kecewa karena ternyata pabrik bata sudah
tidak ada bekasnya lagi. Sebenarnya Pertamina bisa melestarikan pabrik bata itu sebagai tempat tujuan wisata, sayang sekali.Dan sayang sekali juga mesin jahit saya tidak menemui solusi walaupun di tangan Pak Amat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar