Sabtu, 17 Oktober 2009

Baling-baling

Ini cerita hampir 30 tahun silam. Pengalaman pertama menjadi karyawan, kalau kuingat-ingat, bikin aku tersenyum-senyum sendiri. Seumur-umur, sebelum bekerja itu aku sama sekali tidak pernah berhubungan dengan Bank, bahkan dibawa orang tuaku ngintip dari dekat pun tidak pernah. Aku bahkan tidak tau apakah orang tuaku pernah, sering atau jarang berurusan dengan Bank. Soalnya yang aku tau keluarga kami tidak punya tabungan, apalagi di Bank. Kata ibuku, gaji bapak sebulan sebagai polisi dengan pangkat tidak tinggi, tidak cukup dimakan sebulan. Aku tidak mengerti bagaimana kami semua 8 bersaudara bisa bersekolah walaupun hanya sampai tamat SLTA, bahkan sebelum pensiun bapak sudah memiliki sebidang tanah yang cukup luas, sekarang sudah di tengah kota.


Saat kami anak-anak bapak tau bahwa kami memiliki sebidang kebun, perwatasan itu tidak mempunyai akses jalan yang memadai, selain jalan setapak yang kalau hujan menjadi jalan air, di dekat kuburan dan tidak ditumbuhi pohon apapun yang bisa kami petik buahnya. Kata bapak tanah itu sebagai pengganti uang bapak yang dipinjam seseorang yang tak sanggup mengembalikannya, terpaksalah bapak menerima tanah tak bersurat dan tak berprospek pada tahun 1970-an itu. Rupanya bapakku menyimpan uang hasil ngobjeknya sana-sini pada seorang temannya yang jadi pengusaha yang kemudian jatuh bangkrut. Si pengusaha itu membayar bapakku dengan sebidang tanah. Pasti sang pengusaha sekarang sangat menyesal melihat bapakku memiliki tanah di tengah kota. Untung dulu bapakku tidak menggunakan jasa Bank untuk menyimpan uangnya, kalau tidak, tentu kami tidak akan pernah memiliki tanah seluas 4800 m2 di tengah kota.


Aku berkenalan dengan Bank 2 minggu setelah aku menjadi karayawan di sebuah perusahaan pelayaran. Ketika itu boss-ku seorang berkewarga-negaraan Belanda memintaku menguangkan selembar cek. Karena jumlahnya bagi dia tidak seberapa, diperintahkanlah aku sebagai anak bawang di perusahaan itu. Sepanjang perjalanan aku berdoa semoga aku lancar-lancar saja berkenalan dengan Bank. Mengenai prosedur ber-urusan dengan Bank, sudah kupelajari di Sekolah Menengah Ekonomi Atas, satu-satunya di kota kami, pada tahun 70an. Tapi secara langsung masuk dan berurusan dengan Bank, itu adalah yang pertama kalinya. Kebetulan temanku sesama lulusan SMEA bekerja di Bank itu, oh iya lulusan SMEA negeri satu-satunya itu tersebar di seluruh instansi, baik pemerintah maupun non pemerintah. Sekarang mereka banyak yang jadi pejabat tinggi.


Saat memasuki Bank Pemerintah itu untuk pertama kalinya, aku berusaha untuk nampak percaya diri. Bank itu dulu bernama Bank Bumi Daya, berlokasi di hook jalan Jendral Sudirman ke jalan Dondang.Dengan langkah tegap aku berusaha terlihat anggun dan berhasil, semua mata memandang kehadiranku. Aku langsung menuju counter yang kebetulan dijaga oleh temanku si cantik Ida (Halo Ida, dimana kau?), menyerahkan cek sambil berbasa-basi sedikit dengan temanku itu, aku merasa seolah-olah sudah ratusan kali berurusan dengan Bank. Aku kemudian mengambil tempat duduk di deretan nasabah yang sudah menunggu dan menyilangkan kakiku, duh rasanya aku seperti orang penting. Rupanya saat aku masuk tadi aliran listrik sedang putus, mati lampu gitu loh, jadi ruangan agak gerah, walaupun angin semilir masih berhembus dari pintu Bank, yang memang selalu terbuka itu, kan tahun 1977 jadi waktu itu Bank pemerintah tidak pakai Air Condition. Oh iya, Bank swasta juga belum ada pada jaman itu, di kota kami. Seorang pemuda yang aku tau sejak tadi memandangku, dari curi pandang sampai terang-terangan mengajakku beradu pandang, akhirnya datang dan mengajak berkenalan. Ah aku sudah lupa namanya, maklum kan sudah puluhan tahun yang lalu. Dia bercerita banyak sekali tapi aku tidak konsentrasi mendengarkannya, karena pikiranku disibukkan bagaimana nanti, apa yang harus kulakukan selanjutnya dan bagaimana kalau aku dirampok orang. Bagaimana kalau pemuda ini perampok, tahun 70an juga sudah ada perampok loh.


Biasanya aku tidak bisa konsentrasi apabila disebelahku ada cowok ganteng, tapi kali itu aku lebih terkonsentrasi kepada tanggung-jawab besar yang diserahkan padaku, mengambil uang sejumlah 60 ribu, sementara gajiku hanya 35 ribu. Memang kedengarannya tidak banyak, tapi namanya juga pengalaman pertama. Si pemuda kemudian dipanggil untuk mengambil uangnya. Ia permisi padaku menuju counter, mengambil uangnya dan kemudian aku tak melihatnya, belakangan kutau ia masuk ke bilik menghitung uang. Dulu tidak ada mesin penghitung uang seperti saat ini. Namaku kemudian dipanggil, aku berdiri menghampiri temanku yang bertugas di counter itu. Temanku menyerahkan uangku, maksudku uang boss-ku, menyuruhku tanda-tangan dan basa-basi. Aku akan memasukkan uang ke dalam tasku, ketika temanku menahan tanganku, “Dihitung dulu” katanya. “Oh iya” kataku sambil melepas ikatan uang lima ratusan. “Eh jangan di sini, masuk ke bilik sana”, katanya. Aku sudah terlanjur PD, jadi kuteruskan saja kePDan-ku, kataku, “Biar di sini saja tidak seberapa ini”.


Saat itu tiba-tiba saja baling-baling di atas kepala kami berputar karena listrik datang tanpa aba-aba. Uang beterbangan ke seluruh ruangan, sebagian sempat kutangkap, tepatnya kurengkuh bukan saja dengan tanganku tapi dengan tubuhku dan seluruh jiwa ragaku. Kumasukkan dengan sembrono uang-uang yang berhasil kutangkap ke dalam tasku, kemudian tertungging-tungging aku memungut uang yang bertebaran dimana mana. Tau-tau sang pemuda tadi sudah berada di belakangku menyerahkan uangku yang berhasil dikumpulkannya. Dia kemudian membantuku menghitung kembali uangku dan tidak hilang selembarpun. Aku tidak tau bagaimana rupaku saat itu, yang aku tau rupa orang orang di sekitarku yang terlihat amat prihatin, “Baru pertama kali ya?” kudengar seseorang bertanya. “Tidak juga, listrik saja yang datang tiba-tiba!” sahutku masih saja tidak mau mengaku norak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar