Kamis, 22 Oktober 2009

6 tahun sekolah di eks Sekolahan China

Saya pertama kali mengenal sekolahan di Samarinda, kelas 1 SD selama kurang lebih 6 bulan di SD jalan Pelabuhan.
Guru-guru yang masih samar-samar saya ingat adalah Engku Sa'al dan Encik Salbiah.Entah kenapa kami harus memanggilnya begitu?
Waktu itu saya sekolah menggunakan alat tulis berupa papan hitam berbingkai kayu dan Grip sebagai pengganti pensil atau kapurnya.Grip entah dibuat dari bahan apa, yang saya ingat, kalau Grip saya hampir habis atau patah, saya akan menyambungnya dengan bambu kecil,supaya masih bisa dipergunakan untuk menulis.
Saat itu kalau tidak salah adalah jaman pembrontakkan Permesta.Ibu saya berpesan pada kami setiap akan diantar dengan becak kami kesekolah, rumah kami berjarak sekitar setengah kilometer dari sekolah.
" Kalau Langkulili( nama supir becak kami)belum datang jemput,kalian jalan kaki pelan-pelan dipinggir jalan,dan kalau ada alrm(sirine) atau pesawat terbang, kalian segera lari ke pos polisi"
Waktu itu sering ada pesawat terbang rendah dan di ikuti oleh Sirine supaya orang-orang segera berlindung.

Bapak saya kemudian dipindah tugaskan ke Balikpapan, dan saya menyambung kelas satu saya di SD Bhayangkari Balikpapan.Ketika Saya naik kelas 2, asrama polisi yang diperuntukkan untuk satuan polisi Airud Balikpapan,selesai dibangun. Kami kemudian pindah dari Asrama polisi Pasar baru menuju Asrama polisi Airud Karang anyar Balikpapan.
Singkat kata saya menyelesaikan Sekolah dasar saya di SD No 49,kawasan Rapak Balikpapan.Lain waktu saya akan menceritakan masa-masa saya jadi anak Rapak dan Rapak tempo dulu.

Saya harus masuk SMP, dan SMP terdekat dengan rumah kami adalah SMP di Kebun sayur.Komplek sekolah saya tersebut sudah tidak kelihatan lagi bekasnya setelah dilahap si jago merah sekitar tahun 80an.Sekarang dilokasi itu berdiri eks Bank Eksim yang sekarang menjadi Bank Mandiri Kebun Sayur.
Komplek sekolah itu, terdiri dari beberapa Unit sekolah lanjutan pertama. Disebelah kiri bangunan adalah Sekolah Tekhnik tingkat pertama negeri,kurang lebih 20 kelas, disebelah kiri adalah Sekolah Menengah Pertama Negeri III, 10 kelas dan dibagian belakang adalah SMP III Filial yang juga 10 lokal, kemudian menjadi SMP negeri IV Balikpapan.Sekolah dengan bangunan 2 lantai yang berdiri kokoh itu, mengeliling lapangan Basket yang cukup luas juga adalah bekas sekolahan China.

Saya melihat ada orang yag mirip teman SMP saya sering muncul gambar dan beritanya di koran lokal sebagai kepala Dinas perindustrian,perdagangan dan koperasi dengan nama yang mirip juga yaitu Irianto. Cuma saja pejabat itu memakai Labrie dibelakang namanya, Entah dia orang yang sama atau bukan.Selain itu juga saya melihat orang yang mirip Syahril mantan anak SMP eks sekolahan china itu wira-wiri di koran lokal sebagai seorang anggota DPRD Balikpapan.mungkin hanya mirip.
Yang jelas, seorang teman saya dari SMP itu bernama Lindon, yang ibunya berjualan sepatu tepat diseberang jalan depan gerbang sekolah kami, sekarang sudah menjadi seorang Pengusaha penerbit terjemahan buku-buku kedokteran dan sangat kaya raya.Dia seorang dokter dari UI dan melanjutkan pelajarannya disebuah Univesitas di Amerika.

Kalau dulu keluarga kami memilihkan sekolah di SMP negeri IV, yang bekas sekolahan China karena paling dekat dengan rumah kami, maka ketika harus masuk sekolah Menengah Atas, kami dari Karang Anyar melewati komplek sekolah Gunung Pasir, karena mencari Sekolah Menengah Ekonomi Negeri yang satu-satunya berada di Jalan bukit niaga Pasar Baru Balikpapan.
Lagi-lagi sekolahan saya itu bekas sekolah China.Kapan-kapan saya akan menceritakan suka-duka saya di Bukit niaga selama tiga tahun yang sampai sekarang masih meninggalkan trauma karena saya selalu sampai dirumah setelah lewat magrib, karena tidak kebagian terangkut taksi jamban.Kami masuk sekolah jam 1 siang dan pulang jam 6 sore.Saya sampai sekarang sering bermimpi tidak mendapat tumpangan dan itu membuat saya terkencing-kencing.

Mungkin karena selama 6 tahun bersekolah dibekas sekolahan China, saya jadi fain-fain saja (maksudnya just fine)
menikah dan masuk dengan mulus dikeluarga suami saya yang orang China.....masak ada hubungannya sih, "lebai" kah?

TV besar alias Bioskop Ria

2 adik bungsu saya yang ketika saya kelas 2 SMP, masih berusia balita adalah 2 gadis kecil yang meramaikan hari-hari dalam keluarga sangat besar kami.
Bayangkan saja, kami satu saudara kandung ada 8 orang ditambah lagi dengan 5 orang saudara sepupu kami yang yatim piatu. Untung saja 2 sepupu yang tertua laki-laki, sudah dewasa dan berkerja, sehingga jarang tinggal dirumah, karena mereka bkerja dipengeboran minyak bumi dilepas pantai kalimantan timur.

Saat itu kira-kira awal tahun 70 an.Siaran televisi baru saja merambah Kalimantan Timur dengan mengadakan siaran percobaan.Isi siaran TVRI Balikpapan biasanya hanya lagu-lagu Pop Indonesia.Penyanyi yang paling kami tunggu saat itu adalah Emilia Contesa, dia yang paling OK.Ada juga penyanyi lain yang rajin diputar oleh TVRI Balikpapan, yaitu Inneke Kusumawati yang ngetop dengan lagu Sepatu Baru,Fenty Effendy,Maya Sopha dan kawan-kawan dibelantika musik pop kemudian Mergie Singer, Rien Jamain dan beberapa lagi di musik Jazz serta Pak Hoegeng dengan Hawaiian Seniornya.

Jadi setiap menjelang magrib kami sudah rapi berjejer duduk didepan televisi 14"layar biru kami yang kakinya "ngangkang".Saya ingat televisi itu adalah hadiah dari seorang kakek jauh kami yang setiap beliau datang tidak menemui kami cucu-cucunya, karena kami selalu berada dirumah tetangga kami yang paling kaya sekomplek, untuk nonton TV.Begitulah kami akhirnya bisa nonoton TV dirumah kami sendiri.

Betapa kami begitu dipengaruhi oleh sisaran-siaran televisi, maklum barang baru bagi kami.Kalau Emillia Contessa bernyanyi dengan penuh ekspresi, ketika dia berkerut-kerut kami menahan nafas dan ikut berkerut dan ketika dia tersenyum maka kamipun ikut tersenyum. Suatu hari Nely adik saya menagis tersedu-sedu karena seorang anak di televisi merebut boneka anak yang lainnya dalam sebuah film keluarga.

Selain TVRI hiburan kami anak-anak dan dewasa disekitar kawasan Karang anyar adalah bioskop Ria.Setiap minggu pagi kami akan berbondong-bondong menuju bioskop untuk menonton film kartun Walt Disney yang saat itu kami sebut "Pelem Kokos",entah dari mana asal muasal sebutan itu, yang jelas Pelem artinya Film. Bioskop akan penuh sesak oleh anak-anak sampai yang datang dari daerah Kampung baru. Makanya 2 adik bungsu kami tidak pernah kami ajak, kami tak sanggup menjaga keselamatan mereka dari berdesak-desakan ketika masuk dan keluar gedung bioakop.

Suatu hari kakak sepupu kami yang bernama Mukiban sedang off...(saya sedih menulis namanya, karena beliau baru saja meninggal dunia akhir tahun 2008, nun jauh di pedalaman Kalimantan, 20 jam perjalanan ketika jenazahnya diantar keBalipapan).
Hari minggu pagi seperti biasa kami sudah siap dengan bedak Mares(tulisannya Marck)belepotan diwajah kami, rencana pergi nonton pelem kokos di bioskop Ria.Karena ada Kak Mukiban, maka Reny dan Nely untuk pertama kalinya bisa pergi nonton bioskop.Dengan menggendong Reny dan menggandeng Nely,kak Mukiban menggiring kami pergi kebioskop.

Hari itu bioskop agak lengang, karena anak-anak dari komplek Pertamina sudah tau bahwa film yang diputar adalah yang sudah berulang kali diputar, yaitu mengenai kisah cinta Donald dan Daisy bebek.
Kami masuk dengan lancar ketika lampu belum dipadamkan.Saya dan kawan-kawan satu asrama sudah mendapat tempat duduk yang nyaman, tidak terlalu dibelakang yang agak bising dengan bunyi proyektor dan tidak juga didepan yang menyilaukan.Kami tidak lagi peduli dimana Kak Mukiban dengan Reny Nely.Film segera diputar anak-anak bersorak-sorai melihat tingkah Donald bebek.Tiba-tiba gelap gulita dan sunyi senyap, rupanya Roll Film putus, ini biasa terjadi.

Didalam gelap ruangan penonton berteriak-teriak protes, jaman dulu kita anak-anak juga sudah berani perotes kalau kenyamanan kami terganggu.Karena masalah tekhnis rupanya tidak dapat segera diatasi. jadi terpaksa lampu bioskop dinyalakan untuk meredam protes.

Dan.. dalam keadaan terang benderang itu pandangan kami tertuju pada 2 sosok kecil di bawah layar bioskop Ria yang begitu lebar, duduk bersila dengan manisnya, dengan sendal jepit masing-masing teronggok tak jauh dari tempat mereka duduk bersila......Ya ampun...2 orang itu adalah Reny dan Nely...mereka tidak mau merubah kebiasan
kebiasaan mereka ketika menonton pelem, bersila tenang-tenang di depan layar.Sampai dirumah Nelly bercerita pada ibu kami "...Mama...tadi kami nonton TV besaaaarrr betul.......!"

Kak Mukiban tertawa terpingkal-pingkal menceritakan bagaimana dia berusaha membujuk adik-adik untuk duduk dikursi yang sudah disediakan.Kami akhirnya maklum, rupanya kebiasaan nonton Tv dirumah orang kaya tetangga kami yang tidak membolehkan kami duduk disofa mereka terbawa kedalam bioskop...kan sama saja....bioskop juga bukan rumah sendiri tidak boleh duduk disofa.

Rabu, 21 Oktober 2009

Nenek Inggris,Pak Amat dan Pabrik bata

Mesin jahit saya putus tali dinamo nya, karena mesin jahit itu bukan merek yang sudah umum dan agennya sudah lama beralih usaha jadi tukang jual kertas dan alat tulis, jadi dia tidak mau bertanggung jawab akan kesulitan saya.

Saya sudah mencari tali dinamo yang kata orang di toko spare part mobil namanya fanbelt, keseluruh toko yang berkepentingan dengan perjahitan tapi tidak ada satupun yang cocok.Saya juga sudah menyuruh anak saya untuk nyari di google atas nama mesin jahit Riccar, tapi tidak jua ditemukan.Berarti tidak semua data bisa didapat di Google itu.
Atas saran tukang jual mesin jahit reguler( maksud saya yang mereknya tidak neko-neko) di kawasan Kebun sayur menuju jalan Kilat, saya di ajurkan mencari pakar mesin jahit bernama Pak Amat.Dia memberi tahu saya ancer-ancer alamatnya dan merasa sangat mengenal daerah itu, saya langsung mengajak suami saya yang setia mengantarkan saya mencari solusi mengenai urusan mesin jahit itu, untuk mencari Pak Amat saja. Saya sudah optimis bakal bisa menjahit lagi. Maklum sebagai orang yang menyandang gen tukang jahit, saya selalu senang berada didekat mesin jahit, walaupun belum pernah saya menghasilkan serupiahpun dari mesin jahit saya.

Gen jahit menjahit saya dapatkan dari ibu saya yang sudah menjahit secara profesional sejak umur 9 tahun, di kampungnya nun jauh di Wakatobi.Maklum beliau piatu sejak usia itu dan ayah beliau hanya seorang petani.beruntung almarhum nenek saya itu seorang tukang jahit dan sekaligus seorang pembuat jarum jahit...saya sebenarnya juga keturunan tukang logam, karena nenek saya dari ayah saya adalah pembuat perhiasan dari uang logam, dan cukup ternama konon pada jamannya di kampungnya tentu saja.Kadang-kadang saya merasa sangat hebat karena terlahir sebagai keturunan tukang logam wanita!

Esoknya dengan sepeda motor saya dan suami menggotong mesin jahit mencari Pak Amat.Mula-mula kami sampai di Balai Gembira, di belakang balai gembira ada mantan pabrik es kemudian ketemu simpang tiga, kekanan bioskop Ria kekiri jembatan. Tapi ketika sampai di jembatan saya bingung harus kemana, padahal dulu saya selalu melewati jembatan itu dari pagi sampai malam. Pagi hari sebelum sekolah saya wajib lewat jembatan untuk beli sarapan roti goreng yang disana namanya Untuk-untuk, diwarung bulik Irum ( kelak setelah ia menjadi ibu tiri dari kawan saya yang asal Manado, bulik Irum berubah menjadi Tante Roum),Siang hari di panas terik sepulang sekolah, bapak saya menyuruh saya minta sepotong es batu di pabrik es yang pemiliknya kebetulan kawan baik bapak saya.Malam hari kalau kami kehabisan lauk untuk makan malam saya akan lewat jembatan itu lagi untuk beli sekaleng sarden di toko ibu Nyoto, diseberang rumah mamaknya Kahar.

" Jadi kita kemana lagi nih, jangan melamun aja" suami saya mengagetkan saya. Saya bingung, bayangan saya setelah jembatan itu, dikanan kantor pabrik bata dan kesanaan sedikit deretan asrama polisi tempat kami tinggal.Di sebelah kiri rumah mantan direktur pabrik bata suami tante Roum.sedangkan didepan jembatan adalah seluas-luasnya areal pabrik bata.Dikiri areal itu berdiri dengan kokoh rumah pembakaran bata.Dibelakang rumah pembakaran bata itu dalam sebuah rumah sangat sederhana tinggalah seorang wanita tua berdarah Portugis dengan seorang anak lelaki dan cucunya yang juga seorang anak laki-laki.Wanita tua yang oleh orang-orang sekitarnya itu dikenal sebagai Nenek Inggris, adalah langganan pijat ibu saya.Nenek Inggris sangat terkenal, kalau saya bilang saya tinggal didekat pabrik bata, orang lantas bertanya " dimananya Nenek Inggris?"

Saya mencoba bertanya pada seorang ibu yang sedang menyuapi anak dalam gendongannya, apakah ia mengenal Nenek Inggris atau keturunannya? dengan menahan tawa dia mengatakan dia tidak pernah mendengar ada orang yang dikenal sebagai anak atau cucu dari Nenek Inggris.Dia bertambah geli ketika saya katakan Nenek inggris masih tinggal di belakang rumah pembakaran bata pada tahun 69 " bu, saya belum lahir waktu itu" katanya.

Akhirnya sebuah pintu terbuka dan didalamnya berserakkan mesin jahit listrik yang kebanyakan sudah butut.Pak Amat rupanya mantan tetangga kami, dia menceritakan pada saya bahwa sudah tidak ada lagi orang dari masalalu disitu
"Pak Mayor Anu meninggal setelah kena santet di Tenggarong dan ibu Mayor Polan sebelum pindah ke Jakarta adalah salah satu staff Kapolda sedangkan Pak Mayor Es terkena stroke masih ada di bekas rumah kami, padahal dia sudah lama pensiun".Jangan heran kalau Pak Amat meyebutkan pangkat-pangkat militer, karena polisi dulu pernah memakai
kepangkatan militer,kalau tidak salah waktu Jendral Yusuf memangku Panglima Angkatan Bersenjata.

Saya senang sekali bisa mengunjungi tempat masa kecil saya walaupun saya kecewa karena ternyata pabrik bata sudah
tidak ada bekasnya lagi. Sebenarnya Pertamina bisa melestarikan pabrik bata itu sebagai tempat tujuan wisata, sayang sekali.Dan sayang sekali juga mesin jahit saya tidak menemui solusi walaupun di tangan Pak Amat.

Selasa, 20 Oktober 2009

Romantis di Lamaru

Sebagai pengantin baru di-era akhir tahun 70an, apalagi kami bukan pasangan yang mapan secara keuangan maka tak banyak pilihan kami untuk menikmati masa bula madu itu.Kami adalah pasangan yang merasa sebagai orang-orang romantis yang selalu tersentuh dengan yang indah-indah, bahkan hanya oleh sebatang bunga liar yang tumbuh diantara rerumputan.
Adik sepupu saya yang tinggal bersama kami (ketika itu kami sudah agak mapan secara keuangan) pernah mengeritik saya " ini rumput..mana ada orang menanam rumput di pot bunga keramik mahal begini" katanya ketika melihat saya menanam serumpun perdu berdaun kecil-kecil warna maroon yang biasa tumbuh di tempat lembab.
Nah kira-kira begitulah difinisi saya mengenai perasaan romantis saya dan suami.

Waktu itu tidak ada taman di kota, jangankan lagi tanaman bunga di median jalan raya.Kalau tidak ada sampah saja di jalan raya, disuatu kawasan, misalnya di jalan minyak sekitar kawasan kantor besar Pertamina atau perumahan petinggi Pertamina di gunung Dubbs, maka suami saya yang "Singapur minded", akan mengatakan... " enak ya disini, seperti di Singapur" saya waktu itu tidak begitu tau mengenai negara tetangga kita itu.

Masa bulan madu kami biasa kami habiskan untuk melihat-lihat kilang minyak dari daerah tangki minyak di puncak gunung Dubbs di malam hari, atau melihat-lihat taman bunga di halaman rumah-rumah pejabat pertamina itu, disore hari.Tapi lama-lama kami mulai jenuh, melihat itu-itu saja setiap hari, bagaimanapun romantisnya kami.

Ada juga kebiasaan kami yang agak melenceng dari sifat-sifat romantis kami yaitu menonton film silat asal Hongkong. pokoknya kalau gedung bioskop Gelora meutar film silat kami pasti nonton.Li Ching, Cen Fei Fei, Hung Pao Pao, Teng Kuang Yung, Ti Lung, David Chiang dan kawan-kawannya yang beterbangan sambil bermain pedang dengan kostumnya yang melambai dan dandanan rambutnya yang penuh ornamen itu tidak bosan-bosan membuat kami terpukau.

Kebetulan ketika itu suami saya bekerja sebagai kontraktor yang melayani sebuah perusahaan Perancis.Lokasi pekerjaan suami saya itu cukup jauh dari kota Balikpapan, yaitu disekitar delta-delta Mahakam, dari Handil sampai daerah lainnya disekitar Kutai lama.Biasanya kalau suami saya itu berangkat ke lokasi kerjanya hari masih pagi buta dan kembali pada saat menjelang magrib.

Suatu saat suami saya berangkat dari rumah agak kesiangan. Rupanya peristiwa itu membuka cakrawala baru baginya.Sepulangnya dari lokasi dengan wajah khasnya ketika sedang terkagum-kagum akan sesuatu, yaitu matanya semakin sipit ( dia keturunan negeri Panda), senyumnya semakin rapat dan geleng-geleng kepalanya, dia berkata begini "Wihh....tidak di sangka...perjalanan dari Lamaru...sampai Samboja kesana lagi....indahhhh.....banyak bunga-bunga...sepanjang jalan..mami harus melihatnya kapan-kapan..." Oh ya .dia memanggil saya "mami" walaupun saat itu kami belum punya anak, juga adalah salah satu indikasi keromantisan kami, ceritanya.

Saya menanti-nanti saat yang di janjikan suami saya untuk membawa saya melihat keindahan alam Lamaru dan sekitarnya.Tapi namanya juga suami saya kesana karena tugas,jadi waktunya tidak bisa dipilih sendiri...jadwalnya sudah tetap, pergi subuh pulang habis magrib.Mana bisa lihat bunga?
Akhirnya kami memutuskan untuk menyiapkan waktu khusus untuk pergi ke Lamaru, mumpung masa bulan madu belum berlalu, kan kami menikah baru beberapa bulan, kami belum menemukan hal-hal yang membuat kami berselisih paham tentang apapun, jadi semua masih indah saja.

Suatu hari libur ditanggal merah, kami bersiap melakukan perjalanan bulan madu kami menuju Lamaru. Saya menyediakan makanan dan minuman yang cukup, juga ember dan air di jerigen buat cuci-cuci.Oh iya kendaraan kami ketika itu adalah sebuah pick-up Datsun... cukup keren bagi kami pada masa itu,saya tak pernah lagi melihat mobil semacam itu setelah lewat tahun 80an.

Benar saja apa yang dikatakan suami saya,pemandangan begitu mankjubkan saya. penduduk yang tinggal disepanjang jalan menanam bunga-bunga...ada kembang sepatu, kembang jengger ayam, kembang daun keriting warna merah kuning hijau, kembang mangkokan, puring warna-warni...dan yang paling keren dan modern adalah anggrek tanah warna ungu,karena hanya ada dirumah-rumah orang yang terlihat agak berada.Selebihnya dihalaman setiap rumah dapat dipastikan ada bahkan banyak kembang tai ayam..kalau orang modern menyebutnya morning glory.
Saat itu kami sangat "satisfied" wah...kata-kata ini juga saya pilih untuk menggambarkan betapa romantisnya kami.

Saat ini kejadian itu sudah berlalu sekian puluh tahun..dan kota Balikpapan sudah di penuhi oleh bunga-bunga beraneka warna di setiap sudutnya....kebersihannyapun sudah hampir setara dengan Singapur atau kota-kota modern dimanapun....Mau romantis tidak perlu jauh-jauh ke Lamaru lagi.

Senin, 19 Oktober 2009

Pasar baru dalam ingatanku

Saya lihat serombongan perempuan berlarian dari dalam bangkai kapal yang teronggok di pantai tidak jauh dari asrama polisi tempat tinggal keluarga kami. Para perempuan itu terlihat dan terdengar berceloteh riang berlarian kearah air, disiang yang panas terik.Saya tertawa-tawa melihat kegembiraan mereka. suara tawa mereka kadang terdengar jelas kadang sayup-sayup terbawa hembusan angin yang berubah arah.Hari itu air laut sedang surut, sehingga bibir laut terlihat jauh sekali dari tampat saya duduk.Kebiasaan saya ketika sudah pulang dari sekolah saya yang cuckup jauh dari rumah kami itu, selesai makan siang ketika keluarga saya beristirahat siang, saya pergi kepantai untuk sekedar bermain pasir atau memetik bunga-bunga berwarna ungu dari tanaman merambat yang menutupi sebagian pasir putih di pantai paling luar yang merupakan halaman tetangga kami di blok D asrama paling belakang.

Tetangga kami di blok D bisa berkebun di halaman rumah mereka, kebanyakan mereka menanam pepaya dan terong. Kebun mereka itu masih lagi dibatasai oleh tumbuhan belukar yang bunganya berwarna ungu dan daunnya bentuk hati, baru kemudian areal pantai. Kami tinggal di blok B sedangkan blok A posisinya menghadap jalan raya, jalan protokol yang menghubungkan lapangan terbang dan pelabuhan laut, serta dalam kota yang terletak di bagian bukan pesisir.

Dibelakang asrama kami itu pantai menghampar berkali-kali lipat luas lapangan sepak bola, ketika air sedang surut besar, kalau air tidak terlalu jauh surutnya, maka akan banyak kolam-kolam kecil di pantai yang dihuni oleh ikan-ikan kecil.Bapak sering mengajak kami mencuci lampit dilaut,lampit adalah tikar dari belahan rotan hasil kerajinan orang-orang kalimantan selatan.Saat itu sajalah saya akan berani menceburkan diri dilaut, sambil menyikat lampit.Kalau tidak ada bapak, saya sama sekali tak berani sampai di air laut, apalagi dalam keadaan surut. Orang-orang dewasa sering menceritakan hal-hal seram yang membuat anak-anak seperti kami tidak berani sampai di laut.

Ketika itu kalau saya bercerita kepada ibu saya tentang perempuan-perempuan dari dalam bangakai kapal, ibu saya selalu menasehati saya supaya jangan melamun dipantai. Ibu saya menganggap saya hanya berhayal, padahal saya melihat dan mendengarnya seperti saya juga melihat kapal yang berlayar, dan orang membawa lanjung di bibir laut, menggali dan memungut kepah." tidak ada perempuan yang mau mandi dipantai tengah ari bolong seperti itu, perempuan takut matahari akan membuat kulit mereka hitam" begitu kata ibu saya.

Onggokan bangkai kapal yang saya ceritakan diatas, lokasinya disebelah kiri pantai kami, sedangkan di sebelah kanan pantai kami adalah belakang pasar yaitu muara sungai Kelandasan kecil, Ketika itu di belakang pasar memang aromanya agak menyengat, karena banyak penduduk yang memanfaatkan pantai sebagai toilet umum.bisa dibayangkan kalau kepiting di daerah itu lebih sehat-sehat dari pada kepiting-keping kurus di pantai kami.

Didepan asrama kami itu lain lagi pemandangannya.Kala itu jalan raya di depan asrama kami hanya satu jalur, dan jarang-jarang kendaraan yang melintas.Jalanan hanya ramai pada waktu-waktu tertentu.misalnya pagi sekali ketika angkutan menuju ke Handil yang membawa orang-orang yang akan ke Samarinda dan sekitarnya.Waktu itu belum ada jalan darat yang menghubungkan Balkpapan dan Samarinda. Jadi mereka yang akan ke Samarinda, harus melewati Handil dan menyambung perjalanan dengan perahu motor menuju Samarinda. Kalau keluarga kami mau ke Samarinda,karena kebetulan nenek kami tinggal di Samarinda, Kami akan di titipkan bapak di kapal patroli( menyalahi prosedur?) dan setelah perjalanan semalaman, paman-paman kami akan menjemput kami di pelabuhan Samarinda. Kadang-kadang saya sekarang berpikir, betapa Bapak begitu mempercayakan kami kepada ABK yang terdiri dari polisi-polisi muda itu, yang ternyata memang terdiri dari orang-orang berbudi luhur, bayangkan kalau ada orang jahat diantara mereka, sementara kami 3 gadis kecil 6 sampai 9 tahun.

Kembali ke Halaman asrama kami. Sepanjang pinggir jalan didepan asrama kami berdiri tegak pohon cemara yang tinggi menjulang dan di bawahnya hamparan rumput hijau juga ditaburi oleh buah cemara kering yang terasa memijat kaki ketika di pijak.Saya juga biasa bergulingan dihamparan rumput untuk merasakan buah cemara kering memijat punggung saya, sambil menonton taksi yang sesekali lewat di jalan raya.Oh ya yang namanya taksi itu adalah sebuah jeep peninggalan perang dunia 2 yang bodynya di ganti dengan kayu dan pintu masuk keluar separuh badan terletak dibelakang mobil.Kelak setelah armada angkutan kota diganti dengan yang sedikit "representatip", masyarakat membedakannya dengan menyebut si Jeep sebagai taksi jamban dan yang pendatang baru adalah taksi kijang. Dan semuanya indah saja dimata dan hati saya....

Sekarang tidak ada lagi pantai landai yang luas di belakang asarama itu. Kata teman anak saya yang tinggal di Blok D saat ini. Air laut ketika pasang dan angin kencang bisa mencapai pintu rumah. Saya sangat kecewa mendengarnya tapi tak ada yang dapat menahan waktu berlalu, semua berubah, ada yang menjadi lebih baik tapi tak jarang yang mengecewakan. Maklumlah kejadian yang saya ceritakan diatas sudah berlalu 45 tahun.

Sabtu, 17 Oktober 2009

When you tell me that you love me

JAUHARI

Kami panggil dia pak Joe.Anak laki laki saya suka sekali padanya karena setiap pulang kepondokannya yaitu rumah kami dia selalu mengisi kulkas diruang makan merangkap dapur bagi anak kost.Esok harinya dia akan mengirim SMS kepada anak saya bahwa dikulkas ada buah buahan buat kamu,ketika ia mengirim SMS itu biasanya dia sudah berada diluar sana,biasanya dia meninggalkan rumah jam 5 atau 6 bagi untuk melihat proyek yang sedang dikerjakannya diluarkota.Lain kali akan ada roti keju,brownis dan sebagainya.Kami beruntung mendapat anak kost seperti pak Joe,dia menempati kamar paling mahal dirumah kami dan jarang ditempati pula sehingga kami banyak menghemat biaya listrik dan air.Ketika ada kesempatan kami ngobrol’ dia bercerita pada saya bahwa dia membina dua rumah tangga dengan 10 orang anak,Istri yang pertama sekota dengan kami,tapi karena siistri sudah berkali kali meminta cerai,suasana diantara mereka kurang baik,jadi pak Joe harus menyewa kamar .

Menurut saya dia sebenarnya minder,maklum dia tidak tampan dan tidak proporsional,gemuk dan pendek,nampak susah sekali untuk bergerak cepat.Dia bercerita bahwa selain mempunyai 2 orang istri dia masih mempunyai beberapa orang pacar.Yah itu urusan dialah,yang penting dia membayar tepat waktu,cukuplah bagi saya,apalagi ditambah sekian banyak bonus.Suatu akhir pekan pak Joe membawa keluarga keduanya menginap dirumah kami,istrinya seorang wanita cantik,kelihatan masih muda dan lugu,saya mengira dia agak kurang cerdas,kelihatan malu malu dan salah tingkah,anak anak mereka sehat dan lucu,kami beramah tamah dan langsung akrab,Pak Joe semakin jarang pulang dan kami semakin diuntungkan.

Sementara itu kami juga menerima anak kost baru sepasang suami istri baru yang setiap hari dibesuk ibu dari sang istri.Ibu itu seorang wanita setengah baya pengusaha kredit barang barang rumah tangga.Saya yang memang gampang akrab,langsung memjadi akrab dengan sebut saja ibu Ena itu.Banyak pengalaman pahit dialami ibu Ena dengan usahanya itu.Beberapa orang pengeredit barangnya minggat tak tentu rimbanya membawa barang bu Ena tanpa membayar.

Setahun sebelumnya dia pernah bekerja sama dengan seorang pemborong untuk mengecat sebuat hotel bintang 4.Bu Ena bertindak sebagai peyandang dana dan pemborong yang mantan tetangganya itu sebagai pemilik proyek dan pelaksana.Sayang sekali kerja sama mereka berakhir buruk,semua tagihan dibawa pergi oleh sipemborong.Samapai saat dia bercerita sudah tigabelas bulan kejadiannya Bu Ena masih semangat mencari sipemborong “Bayangkan bu 100 juta,berapa lama saya mengumpulkan uang segitu”kata Bu Ena.Saya jadi ikut ikutan mengutuk pemborong itu,tega teganya menipu seorang janda.

Nama pemborong itu adalah Jauhari.Lama lama karena terlalu banyak ngobrol terungkaplah bahwa antara Bu Ena dan Jauhari yang lebih muda 10 tahun itu pernah terlibat love affair,itulah sebabnya sehingga Bu Ena tidak melaporkan penipuan itu kepada pihak yang berwajib.”Saya takut skandal itu akan diketahui orang orang”Tapi saya sudah bertobat dan tidak berhenti sholat malam meminta petunjuk dari yang kuasa agar saya segera dipertemukan dengan Jauhari” Saya juga akan turut mendoakan bu,kata saya padanya.

Disuatu hari minggu,penghuni kost mengadakan masak masak untuk makan siang bersama,hari itu ibu Ena tidak datang.Pak Joe belum kembali sehingga belum berkenalan dengan pasangan tetangga kamarnya.Saya yang juga ikut bantu bantu acara mereka, ikut menikmati makan siang bersama itu.Saat itulah Pak Joe datang langsung masuk kekamarnya.Sesaat kemudian dia keluar kamar membawa sebagian kantong plastic yang dibawanya masuk kamar tadi untuk disimpan didalam kulkas,tiba tiba anak perempuan bu Ena berteriak”Om Heri”. Saya melihat wajah pak Joe yang dipanggil Om Heri itu pucat pasi dengan gugup dia berkata “Eh Puput “

Sebentar kemudian Yudo suami Puput sudah mencengkeram kerah baju Pak Joe..Kami semua belum mengerti apa yang sedang terjadi.Puput menelephon ibunya supaya segera datang.Pak Joe mengajak Yudo dan Puput masuk kekamarnya untuk bicara baik baik,dan kami tidak mendengar apa apa lagi,maklum kamar itu kedap sekali.

Ketika bu Ena datang mengetok pintu dengan kasar dan meluncurlah sumpah serapah dari bibirnya: Buaya darat,anjing,srigala berbulu domba dan lain lain yang menyeramkan.Mertua anak dan menantu itu kemudian beramai ramai menjarah kamar pakJoe,TV,VCD,Dispenser,sepeda motor yang disimpan digarasi serta mobil yang sehari hari dipakai pak Joe ,semua di angkut dibawa pergi.Pak Joe kemudian keluar kamar dan sejak saat itu,saya tidak pernah lagi melihat bahkan menerima SMS pun tidak pernah lagi,dia menghilang membawa kunci kamar kunci pintu keluar dan kunci garasi.Pantas saja Pak Joe begitu royal,rupanya dia memdapat uang dengan gampang.

Bukan main kuasa Tuhan,setelah berbulan bulan Bu Ena mencari Pak Joe,menghabiskan tenaga pikiran dan uang,pak Joe yang juga om Heri , alias Jauhari itu ditemukannya disebelah kamar anak dan menantunya.

Baling-baling

Ini cerita hampir 30 tahun silam. Pengalaman pertama menjadi karyawan, kalau kuingat-ingat, bikin aku tersenyum-senyum sendiri. Seumur-umur, sebelum bekerja itu aku sama sekali tidak pernah berhubungan dengan Bank, bahkan dibawa orang tuaku ngintip dari dekat pun tidak pernah. Aku bahkan tidak tau apakah orang tuaku pernah, sering atau jarang berurusan dengan Bank. Soalnya yang aku tau keluarga kami tidak punya tabungan, apalagi di Bank. Kata ibuku, gaji bapak sebulan sebagai polisi dengan pangkat tidak tinggi, tidak cukup dimakan sebulan. Aku tidak mengerti bagaimana kami semua 8 bersaudara bisa bersekolah walaupun hanya sampai tamat SLTA, bahkan sebelum pensiun bapak sudah memiliki sebidang tanah yang cukup luas, sekarang sudah di tengah kota.


Saat kami anak-anak bapak tau bahwa kami memiliki sebidang kebun, perwatasan itu tidak mempunyai akses jalan yang memadai, selain jalan setapak yang kalau hujan menjadi jalan air, di dekat kuburan dan tidak ditumbuhi pohon apapun yang bisa kami petik buahnya. Kata bapak tanah itu sebagai pengganti uang bapak yang dipinjam seseorang yang tak sanggup mengembalikannya, terpaksalah bapak menerima tanah tak bersurat dan tak berprospek pada tahun 1970-an itu. Rupanya bapakku menyimpan uang hasil ngobjeknya sana-sini pada seorang temannya yang jadi pengusaha yang kemudian jatuh bangkrut. Si pengusaha itu membayar bapakku dengan sebidang tanah. Pasti sang pengusaha sekarang sangat menyesal melihat bapakku memiliki tanah di tengah kota. Untung dulu bapakku tidak menggunakan jasa Bank untuk menyimpan uangnya, kalau tidak, tentu kami tidak akan pernah memiliki tanah seluas 4800 m2 di tengah kota.


Aku berkenalan dengan Bank 2 minggu setelah aku menjadi karayawan di sebuah perusahaan pelayaran. Ketika itu boss-ku seorang berkewarga-negaraan Belanda memintaku menguangkan selembar cek. Karena jumlahnya bagi dia tidak seberapa, diperintahkanlah aku sebagai anak bawang di perusahaan itu. Sepanjang perjalanan aku berdoa semoga aku lancar-lancar saja berkenalan dengan Bank. Mengenai prosedur ber-urusan dengan Bank, sudah kupelajari di Sekolah Menengah Ekonomi Atas, satu-satunya di kota kami, pada tahun 70an. Tapi secara langsung masuk dan berurusan dengan Bank, itu adalah yang pertama kalinya. Kebetulan temanku sesama lulusan SMEA bekerja di Bank itu, oh iya lulusan SMEA negeri satu-satunya itu tersebar di seluruh instansi, baik pemerintah maupun non pemerintah. Sekarang mereka banyak yang jadi pejabat tinggi.


Saat memasuki Bank Pemerintah itu untuk pertama kalinya, aku berusaha untuk nampak percaya diri. Bank itu dulu bernama Bank Bumi Daya, berlokasi di hook jalan Jendral Sudirman ke jalan Dondang.Dengan langkah tegap aku berusaha terlihat anggun dan berhasil, semua mata memandang kehadiranku. Aku langsung menuju counter yang kebetulan dijaga oleh temanku si cantik Ida (Halo Ida, dimana kau?), menyerahkan cek sambil berbasa-basi sedikit dengan temanku itu, aku merasa seolah-olah sudah ratusan kali berurusan dengan Bank. Aku kemudian mengambil tempat duduk di deretan nasabah yang sudah menunggu dan menyilangkan kakiku, duh rasanya aku seperti orang penting. Rupanya saat aku masuk tadi aliran listrik sedang putus, mati lampu gitu loh, jadi ruangan agak gerah, walaupun angin semilir masih berhembus dari pintu Bank, yang memang selalu terbuka itu, kan tahun 1977 jadi waktu itu Bank pemerintah tidak pakai Air Condition. Oh iya, Bank swasta juga belum ada pada jaman itu, di kota kami. Seorang pemuda yang aku tau sejak tadi memandangku, dari curi pandang sampai terang-terangan mengajakku beradu pandang, akhirnya datang dan mengajak berkenalan. Ah aku sudah lupa namanya, maklum kan sudah puluhan tahun yang lalu. Dia bercerita banyak sekali tapi aku tidak konsentrasi mendengarkannya, karena pikiranku disibukkan bagaimana nanti, apa yang harus kulakukan selanjutnya dan bagaimana kalau aku dirampok orang. Bagaimana kalau pemuda ini perampok, tahun 70an juga sudah ada perampok loh.


Biasanya aku tidak bisa konsentrasi apabila disebelahku ada cowok ganteng, tapi kali itu aku lebih terkonsentrasi kepada tanggung-jawab besar yang diserahkan padaku, mengambil uang sejumlah 60 ribu, sementara gajiku hanya 35 ribu. Memang kedengarannya tidak banyak, tapi namanya juga pengalaman pertama. Si pemuda kemudian dipanggil untuk mengambil uangnya. Ia permisi padaku menuju counter, mengambil uangnya dan kemudian aku tak melihatnya, belakangan kutau ia masuk ke bilik menghitung uang. Dulu tidak ada mesin penghitung uang seperti saat ini. Namaku kemudian dipanggil, aku berdiri menghampiri temanku yang bertugas di counter itu. Temanku menyerahkan uangku, maksudku uang boss-ku, menyuruhku tanda-tangan dan basa-basi. Aku akan memasukkan uang ke dalam tasku, ketika temanku menahan tanganku, “Dihitung dulu” katanya. “Oh iya” kataku sambil melepas ikatan uang lima ratusan. “Eh jangan di sini, masuk ke bilik sana”, katanya. Aku sudah terlanjur PD, jadi kuteruskan saja kePDan-ku, kataku, “Biar di sini saja tidak seberapa ini”.


Saat itu tiba-tiba saja baling-baling di atas kepala kami berputar karena listrik datang tanpa aba-aba. Uang beterbangan ke seluruh ruangan, sebagian sempat kutangkap, tepatnya kurengkuh bukan saja dengan tanganku tapi dengan tubuhku dan seluruh jiwa ragaku. Kumasukkan dengan sembrono uang-uang yang berhasil kutangkap ke dalam tasku, kemudian tertungging-tungging aku memungut uang yang bertebaran dimana mana. Tau-tau sang pemuda tadi sudah berada di belakangku menyerahkan uangku yang berhasil dikumpulkannya. Dia kemudian membantuku menghitung kembali uangku dan tidak hilang selembarpun. Aku tidak tau bagaimana rupaku saat itu, yang aku tau rupa orang orang di sekitarku yang terlihat amat prihatin, “Baru pertama kali ya?” kudengar seseorang bertanya. “Tidak juga, listrik saja yang datang tiba-tiba!” sahutku masih saja tidak mau mengaku norak!

Saudara Made in luar negeri

Saudara saya yang satu ini agak ajaib. Dia seorang yang rajin, walaupun dia anak laki-laki, dia mau mecuci, membersihkan rumah dan lain sebagainya yang selama ini diklaim sebagai pekerjaan perempuan. Kadang di saat saya hanya memiliki sedikit uang, saya bisa menjadi sangat takut kalau melihat dia terlalu rajin, karena saudara saya itu juga bisa sangat banyak maunya. Dia mempunyai selera yang bagus untuk mendandani dirinya sendiri. Misalnya dia hanya mau memakai sepatu merek Adidas, baju-baju made in luar negeri. Tidak harus Perancis, USA, Italy dan sebagainya yang biasanya digilai banyak orang. Saya juga melihat dia membeli baju made in Papua New Gueneu atau Puetro Rico. Pokoknya luar negeri asal bukan Malaysia. Katanya kalau made in Malaysia namanya ROMA alias Rombengan Malaysia. Nah, karena dia di bawah tanggung-jawab saya, bekerja untuk saya, tinggal di rumah saya, maka wajar sajalah kalau dia agak memaksa saya dengan kerajinannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Kebetulan juga pada masa itu keuangan saya tidak akan banyak terganggu hanya untuk selembar baju atau sepasang sandal bermerek kesukaannya.
Banyak kejadian lucu dan membuat kami surprised karena ulahnya. Suatu hari saya bangun dari tidur siang dengan sangat bahagia, saat itu sedang masanya kompetisi sepak bola antar daerah. Sepak bola adalah salah satu hobby saudara saya tersebut. Kebahagiaan saya dari bangun tidur siang lenyap seketika melihat taman bunga kebanggaan saya di depan rumah sudah berganti bentuk maupun warna sesuai dengan selera saudara saya tersebut. “Bagus kan, saya ambil dari Senipah, kembangnya bagus, daripada yang tadi tidak ada kembangnya.” Katanya dengan logat Maluku yang kental sambil senyum-senyum minta dipuji.
Saya kehabisan kata-kata melihat bangkai pohon bunga Bokor yang saya bawa jauh-jauh dari Bogor. Memang belum berbunga walau telah lebih 6 bulan ditanam, maklum mungkin si bunga masih menyesuaikan diri dengan iklim di Balikpapan. Sebelum masuk tidur siang saya sebenarnya sudah merasa akan terjadi sesuatu. Saya tidak menyangka bahwa taman saya akan menjadi sasaran. Dia ngotot setengah hati membereskan taman bunga saya, karena dia harus menonton seluruh pertandingan sepak bola yang berlangsung berminggu-minggu.
Lain kesempatan dia mengecat Lesplang rumah saya dengan warna orange menyala (judulnya di kaleng adalah SUN RISE). Pada saat itu tahun 80an belum nge-tren warna-warna permen untuk dipoles di rumah, yang sedang ngetren untuk rumah pada saat itu adalah warna putih baik eksterior maupun interior persis seperti rumah sakit. Makanya, saya saat itu ketakutan kalau orang mengira ‘Orange’ itu adalah pilihan saya. Dulu, saya takut sekali kalau orang mengatai saya Norak, maklum masih muda. Demi melihat wajah saya yang kentara sekali sedang marah, dengan perasaan bersalah dia bilang, “Oh tidak suka kah, nanti saya cat ulang.”.
Lain lagi ketika dia dengan bangga memaksa saya melihat hasil karyanya me-Make Up mobil tua kami sebuah Pick Up Hi Line yang tadinya berwarna kuning, menjadi putih dop jenis cat minyak untuk kozen pintu dan jendela, sampai ke Bamper-nya. Yang lebih menakjubkan, goresan-goresan kuasnya sangat kentara karena dia mengecat mobil dengan kuas bekas mengecat Marka jalanan. Yah, itulah saudara saya yang baik hati, jujur dan penuh inisiatif.
Sekarang dia sudah berkeluarga dengan 3 anak dan karier yang bagus. Tapi yang agak aneh, walaupun saya yang membiayai pernikahannya, sampai saat ini sudah lebih 10 tahun berlalu, walau kami tinggal hanya berjarak 60 km, saya dan suami belum pernah berkenalan dengan istrinya. Saya agak kecewa juga, tapi saya menghibur diri, saya katakan pada suami saya, “Mungkin belum ketemu kesempatannya saja.”.
Tiba-tiba kemarin dia muncul di rumah kami. Dia memberi suami saya jam tangan merek Seiko dan sepotong celana Blue Jeans berlogo perusahaan asing tempatnya bekerja. Dengan senyum sumringah dia berkata, “Ini made in Perancis.” Maksudnya celana berlogo itu.
Kata suami saya, “Oh tentu, jam tangan ini juga pasti made in Japan kan? Wah hebat, Tengkiu, Tengkiu ya!” Ada-ada saja saudara saya itu.

Alus Sekali

Seperti biasa Alus kali ini muncul di kantin dengan stelan merah muda dari bibir sampai ke jempol kakinya, kontras sekali dengan kulitnya yang putih pucat. Perempuan itu semangatnya memang luar biasa, di usianya yang sudah menginjak 40 tahun masih mencoba menebar pesonanya yang kelihatan belum sirna.
Sambil menyeruput jus jeruk kesukaannya dia berkata, “Semua karena Olaf. Dia merusak saya, mengangkat saya dari tidak punya apa-apa, membanjiri saya dengan uangnya sehingga saya jadi lupa daratan, dan meninggalkan saya demi perempuan lain yang tidak lebih pintar, tidak lebih cantik dan tidak seksi dari saya!”
Saya masih ingin mendengar lebih banyak lagi, maka saya membenarkan sikap duduk saya supaya lebih enjoy, dengan wajah bodoh saya (mungkin),s aya memandang padanya seolah bertanya “Apalagi nih?”
Alus mulai bercerita, “Saya terlibat rentenir, uang saya habis sama rentenir.” Dia terlibat hutang pada rentenir berkali-kali sejak menjadi janda miskin. Tadinya Alus ini adalah janda kaya dari seorang pengusaha asal Australia.
”Jadi, bagaimana….?” Tanya saya tak bisa menahan diri untuk hanya mendengar saja.
Suatu hari ketika uang kontan di tangannya habis untuk berfoya-foya, dia menggadaikan sertifikat salah satu rumahnya kepada salon kecantikan langganannya selama lebih 10 tahun. Tak dinyana si pemberi hutang berwatak tidak baik. Ketika Alus berniat menebus kembali sertifikat rumahnya, si pemilik salon mempersulitnya, sehingga si Alus terpaksa menyerahkan segala urusan sertifikat rumah tersebut pada kakak angkatnya yang wataknya kurang lebih saja dengan tukang salon.
Sampai saat Alus bercerita pada saya bahwa sertifikat rumah tersebut masih berada di tangan kakak angkatnya dengan catatan Alus sudah berhutang lebih dari 800 juta rupiah, sementara rumah yang dimaksud harganya saat ini diperkirakan 4 milyar rupiah.
“Laporkan pada polisi.” Kata saya gemas.
“Apa yang mau dilaporkan, saya berhutang dengan bukti begitu banyak kwitansi, Saya suka rela meminta dia mengambil Sertifikat saya dari Lucy, memohon-mohon lagi. Kalau saya berantam dengan kakak angkat saya itu, saya benar-benar tamat.”
Apa daya sang kakak angkat enggan menjualnya, lebih suka mengontrakkannya saja. Rumah si Alus itu di tepi jalan raya, lahan yang luas dengan back view pantai yang sangat luas. Sang kakak angkat tidak membutuhkan uang penjualan rumah tersebut karena dia sendiri mempunyai banyak property. Tinggallah si Alus menunggu janji sang kakak yang akan membelikannya sebuah rumah lain jika kelak rumah Alus sudah terjual.
Sebenarnya Alus masih mempunyai sebuah rumah lain yang juga sudah terkuasai oleh orang lain karena kebiasaan buruknya berhutang kepada lintah darat. Alus juga masih mempunyai beberapa bidang tanah di pedesaan, tapi begitulah, masih jadi miliknya sepenuhnya karena tidak ada peminat.
Alus adalah salah seorang anak kos saya yang paling lama. Sudah lebih setahun dia tinggal bersama kami. Sebelum menjadi istri orang asing tersebut, Alus adalah janda dengan dua orang anak laki-laki. Dia kemudian bekerja di sebuah perusahaan penyedia makanan yang melayani beberapa perusahaan besar. Salah satu pelanggan perusahaan Alus adalah bule yang kemudian hari menjadi suaminya. Terkadang Alus tidak bisa menyembunyikan rasa bangganya pernah diperistri oleh seorang berpendidikan tinggi, kaya dan ganteng.
“Enak punya suami Bule, Bu. Bangun tidur diberi bunga dan setiap hari berpuluh kali I Love You diucapkan!” Dalam hati saya, suami bukan bule pun banyak yang boros I Love You, tapi saya berusaha menyembunyikan perasaan saya.
“Kadang-kadang saya lagi mencuci piring dipeluk dari belakang dan lagi-lagi I Love You.” Suami saya juga sering melakukan hal itu meskipun dia orang kampung kata saya lagi dalam hati saja, sambil sedikit iri.
Memang suami saya sering juga melakukan hal-hal yang didapat Alus dari suami bulenya, tidak ada yang istimewa kecuali tentang bunga yang didapatnya ketika bangun tidur. Saya kalau masih mungkin ingin juga diberi bunga ketika bangun tidur walaupun hanya bunga merry gold yang tumbuh liar di halaman samping rumah kami. Tapi tidak mungkinlah suami saya melakukan hal itu, kata anak muda sekarang BUKAN DIA BANGET GITU LOH.
Kembali ke Alus. “Dulu saya biasa berendam di bathtub dengan setengah botol parfum Perancis asli yang saya beli di Melbourne! Toko parfumnya besar sekali, semua merk top ada counternya sendiri-sendiri. Kan setiap Nopember, selama sepuluh tahun, saya berada di luar negeri sebulan penuh.” Mertua si Alus itu konon orang kaya yang tinggal di pemukiman sangat mewah di Melbourne.
Oh, saya tambah iri, betapa impian saya seumur hidup bisa berada di negara bermusim dingin pada bulan Nopember. Sayapun tidak tau kenapa harus Nopember, orang Indonesia lain mungkin punya alasan masuk akal untuk Nopember itu, tapi bagi saya rasanya romantis saja dengan bulan Nopember, padahal saya lahir Desember dan menikah april. Mungkin karena banyak lagu tentang bulan itu, yang saya lupa judulnya. Saya memang sering susah dimengerti.
Lain kesempatan Alus berkata, “Suami saya sangat mencintai saya, dia mempekerjakan empat sekuriti untuk menjaga saya, dua untuk siang dan dua untuk malam. Dia juga sangat cemburu sama saya, dia tidak mengijikan saya keluar tanpa supir, jadi saya bisa bebas bawa mobil sendiri hanya kalau dia keluar daerah atau keluar negeri dengan menyuap para satpam.” Astaga! Ini pelecehan, pikir saya.
“Jadi kamu dikurung?” Tanya saya bodoh, mudah-mudahan dia tidak tau kalau saya iri.
“Bukan begitu, dia itu sangat cemburu pada saya, Bu.” Alus masih juga membela suami bulenya.
Lagi-lagi saya tidak dapat hanya mendengar saja, “Kalau cinta, seharusnya dia membuatmu merasa bebas dan nyaman.” Kata saya lagi.
“Ibu, dia memberi saya dua puluh juta sebulan.”
“Dan kamu merasa pantas dikurung?” Saya benar-benar merasa bahwa saya ini orang yang sangat usil, tapi saya tak kuasa menahan mulut saya.
Saya mulai hilang rasa iri padanya, saya sangat menikmati kepercayaan suami saya melepaskan saya pergi ke manapun saya suka, mungkin karena suami saya tidak sanggup memberi saya dua puluh juta sebulan atau memberi sekedar bunga merry gold ketika saya bangun tidur di hari ulang tahun saya, setahun sekali saja.
“Tapi begitulah perempuan sekarang, tidak pandang suami teman, diembat juga. Olaf pergi begitu saja tanpa saya tau apa salah saya. Dia tinggalkan saya hanya demi seorang perempuan jelek yang masih muda.”
Dari banyak cerita Alus saya mengetahui bahwa Olaf bule itu sudah di vasectomy sebelum memperistri Alus, tanpa memberitahu Alus yang menunggu selama sepuluh tahun untuk mempunyai seorang anak Indo.
Olaf sudah mempuyai anak dari rasnya sendiri, asli Eropa, dari istri terdahulunya. Saya perhatikan wajah Alus baik-baik, dia nampak mulai tua dengan kerutan-kerutan halus di sekitar matanya. Mungkin si Bule tidak lagi tertarik padanya karena itu. Saya jadi kasihan padanya.
Ia membutuhkan saya sebagai tempat mencurahkan kekecewaannya, tidak seharusnya saya bersikap tidak baik. “Saya kan lebih tua sepuluh tahun.” Kata saya dalam hati. Kalau Alus sudah memiliki garis-garis halus, tentunya saya sudah mempunyai garis-garis kasar.
Saya harus bersyukur, dengan garis-garis kasarpun suami saya tidak berpaling dari saya dan masih sering mengatakan saya cantik. Mungkin karena dia tidak bisa membelikan saya parfum Perancis, liburan keluar negeri di bulan Nopember, atau dua puluh juta sebulan, tapi saya tidak peduli. Saya memang bukan istri bule, suami saya keturunan Tionghoa.
Sekarang apapun yang diceritakan Alus tentang hidupnya yang bagai di sorga DULU, tidak lagi menerbitkan rasa iri saya.

Tulisan Jadul

Namanya juga angkatan tahun 70an, jadi pengalaman2nya rada purba, tapi percaya deh kalau kalian baca insyaAllah ada aja pengayaan bathin nah...bahasanya juga pubakala kan.........tadinya sasarannya buat bacaan mama-mama.....tapi kata anakku tulisan maminya lumayan juga, lucu dan inspiratif juga buat anak masa kini.....jadi deh blog ini......