Senin, 04 Januari 2010

Memberi arti pada bekas kehadiran kita


Putri saya pulang ke kota kelahirannya untuk mengumpulkan data bagi tugas akhirnya di sebuah Sekolah Tinggi di luar daerah. Dia memilih Daerah Wisata Bukit Bangkirai sebagai objek penelitiannya. Tempat itu berada sekitar 50 km dari kota Balikpapan. Maka pergilah kami beramai ramai. Saya,bapaknya dan 2 adiknya. Refreshing bagi saya yang sudah jenuh dengan urusan dapur, kasur dan pupur (bedak maksudnya), maklum sudah lama saya tidak pergi berwisata. Kawasan Bukit Bangkirai sangat luas, sehingga tidak mungkin bagi pengunjung untuk bisa menjelajahinya dalam waktu singkat, apalagi hanya seharian. Jadi kami hanya berkeliling di sekitar cottages dan canopy bridge.

Sementara anak sulung saya mengumpulkan data dari orang orang yang berkompeten disana, kami dengan diantar oleh 2 orang guide (selanjutnya saya akan menyebut mereka gaid saja) berkeliling. Pertama kami melewati sebuah bangunan yang bertuliskan Laboratorium Tanaman, saya mengintip ke dalam dari jendela kaca dan melihat tidak ada aktivitas apapun di dalam, padahal hari itu hari senin. Kata si gaid biasanya ada beberapa orang mahasiswa dari Institute di Bandung dan beberapa orang juga dari sebuah universitas di Yogyakarta yang beraktivitas di sana. Berjalan beberapa puluh meter kemudian kami melihat sebuah bak air dengan suara gemuruh airnya, rupanya tempat pengolahan air bersih untuk kepentingan kawasan itu. Ada juga beberapa barak yang kelihatannya ditempati para mahasiswa tadi. Kami juga melewati sebuah kawasan dengan rak-rak tanaman yang masing-masing rak ditulisi nama jenis pohon yang dibibitkan atau dikembang -biakkan di situ. Sebuah papan nama bertuliskan Tempat Pembibitan Tanaman. Di sebelah kiri jalan yang kami lewati ada beberapa bangunan kayu dengan alur sungai kecil di depannya.Gemercik air sungai terasa sangat indah di telinga saya, maklum sudah lama saya tidak mendengar suara seperti itu.

Ketika sampai di areal cottages anak-anak saya sudah kelelahan karena sudah sampai waktu makan siang, kami langsung menyerbu mobil yang sudah lebih dahulu dikendarai suami saya ke tempat parkir kawasan cottages. Kami menghabiskan bekal makan siang kami dengan sangat lahap, terasa sangat lain menyantap makan siang di tengah hutan yang sepi dengan udara yang bersih dan segar. Karena hari itu hari senin, maka pengunjung tempat wisata itu hanya kami sekeluarga, serasa hutan itu milik kami sendiri.

Saya memasukkan sisa-sisa makan siang kami ke dalam plastik yang saya siapkan dari rumah, hal mana membuat anak bungsu saya menertawakan saya karena membawa kantong plastik sampah ke hutan. Saya jelaskan pada mereka supaya jangan meninggalkan sampah dimanapun kita berada, kecuali di tempat sampah. Saya katakan bahwa hutan bukan tempat sampah. Ternyata di hutan itu juga ada tempat khusus untuk sampah, sehingga kami meninggalkan sampah kami disana. Kalau tidak saya bermaksud membawa kembali sampah saya ke tempat sampah di kota.

Kami melanjutkan perjalanan kami menuju canopy bridge yang terkenal itu. Sebelumnya kami diarahkan gaid kami untuk memperhatikan pohon-pohon di sekitar kami. Banyak nama latin bagi pohon-pohon itu, beberapa pohon bahkan mempunyai orang tua angkat. Nama orang -orang yang mengadopsi pohon -pohon itu tertera di masing -masing pohon. Selain bangsa Jepang, kami juga melihat ada nama beberapa pejabat Negara kita sebagai bapak angkat dari beberapa pohon di situ. Gaid kami menceritakan tentang sebuah pohon yang bernama pohon Genta, yang mana pada komunitas Dayak berfungsi sebagai alat komunikasi, karena ketika dipukul batang pohon tersebut, suara nyaringnya akan bergema ke segala penjuru hutan, menandakan ada sebuah peristiwa. Adalagi sejenis jamur yang menyala dimalam hari konon karena mengandung sejenis kimia. Kata Gaid kami, Orang Luar Negeri yang mengunjungi Kawasan itu banyak yang membawa anak balita mereka. Mereka tidak lupa membawa anak anak mereka menyusuri hutan di malam hari, hanya untuk mencari jamur itu ataupun mencari asal-muasal sebuah irama yang belum pernah mereka dengar di kampung halaman mereka di New York atau Paris sana, yang ternyata adalah nyanyian sekumpulan jangkrik. Sementara kata sang gaid belum pernah ada orang orang kita yang berani membawa anak -anak mereka berjalan -jalan di hutan malam hari. Saya rasa sang gaid pun tidak pernah melakukan hal itu walaupun tentunya mereka lebih familiar dengan lingkungan tersebut. Untuk itu saya menjadi sangat apresiatif kepada orang -orang Luar Negeri tersebut. Saya juga tidak sampai hati membawa anak-anak saya berkeliaran di hutan malam hari, saya belum mampu.

Bermacam-macam pohon yang belum pernah kami ketahui akhirnya kami kenal di sana. Ada pohon rotan yang merambat di pohon -pohon raksasa, baik pohon Bangkirai, Ulin maupun Keruing dan lain -lain yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Ada juga pohon Pasak Bumi yang tersohor khasiatnya sebagai obat penambah vitalitas konon katanya dan berjenis -jenis lagi yang susah bagi saya untuk menghafalnya.

Setelah mengadopsi pohon, ternyata lagi- lagi orang Luar Negeri pula yang mempunyai ide dan merealisasikan Canopy Bridge itu. Saya agak kecewa, karena tadinya saya berharap bahwa jembatan pohon yang tersohor itu adalah karya saudara sebangsa saya. Karena saya takut ketinggian, walaupun gaid kami sudah membujuk saya untuk memanjat dan melihat hutan dari ketinggian 30 meter, saya mohon maaf, tidak berani! Anak -anak saya nampak puas ketika sudah mendarat kembali di bumi.

Sayang sekali dalam perjalanan kembali ke areal cottages, saya baru memperhatikan ternyata banyak kaleng-kaleng bekas minuman maupun plastik pembungkus snack berserakan mengurangi keasrian hutan kita. Begitu juga ketika kami mengunjungi toilet di belakang aula di areal penginapan itu. Kami mencium bau menusuk yang bukan aroma kotoran binatang hutan yang memang wajar-wajar saja teronggok di sekitar situ. Saya melongok lebih ke belakang dan menemukan seonggok sisa makanan dalam kardus kardus air mineral, sampah ikan dan plastik-plastik kemasan air minum, balon dan kaleng -kaleng minuman ringan. Tak dapat menahan keingin-tahuan saya tentang perbuatan siapakah membiarkan sampah berserakan begitu, saya tanyakan pada gaid kami, siapa yang habis berpesta? Ternyata serombongan tamu dari sebuah Badan Usaha Milik Negara baru saja mencarter seluruh cottages dan berpesta barbeqeu.

Saya katakan pada anak-anak saya, sudahlah kita ini, terpikirpun tidak untuk mengadopsi sebatang pohon, jangan lagi membawa sampah mengotori hutan. Marilah kita, pada setiap kesempatan selalu berusaha, memberi arti lebih baik pada sisa sisa kehadiran kita.

2 komentar:

  1. Betul Bu. Kesadaran kita untuk buang sampah di tempat sampah masih rendah ....

    Kunjungi blog juga ya. Ada tempat wisata meraik di sini: http://novenrique.blogspot.com/2011/04/yang-tertinggal-di-labuhan-jukung.html

    BalasHapus
  2. jagalah kebersihan lingkungan dari sampah...

    BalasHapus